Malam sudah semakin larut. musim dingin terasa menggigitku sampai ketulang sumsum. berkas - berkas embun dari hujan tadi sore masih menempel di jendela kamarku. Kulirik jam dinding. Oh, sudah pukul dua malam.
“Prang …! “ terkengar suara bantingan kaca. “ Pergi kau ! Pergi …!” keras sekali.
“ Astaghfirullah… “ hampir habis darahku. Kaget sekali…Segera kuterjang selimutku dan berlari menuju sumber suara tadi.
“ Ada apa bang ?” Husni tergopoh – gopoh dari kamarnya menghampiriku.
“ Ali …!” kukejar langkahku menuju kamar Ali.
“ Astaghfirullah …” terlihat Ali tengah kejang – kejang terkapar di lantai kamarnya seperti ayam yang baru digorok lehernya. Seisi kamarnya berantakan.
“ Husni ! cepat ambil habbah sauda dikamar abang!” seruku setengah berteriak.
Langsung kupegang Ali sebisaku. Sebelum seisi kamarnya menjadi lebih hancur. Kulantunkan ayat kursi dengan suara keras ketelinganya. Ali masih saja mengelinjang dan menceracau. Tenaganya kuat sekali. Kubelitkan tanganku ke lehernya untuk mengunci geraknya.
Husni segera datang membawa minyak habbah sauda lalu menggosokkannya ke dada Ali. Ayat – ayat Alquran tetap kulantunkan dengan keras namun tenang. Perlahan Ali mulai tenang kembali.
“ Bagaimana ini bang ?” Husni melemparkan tatapan hampanya padaku. Kuhirup nafas panjang. Kusibakkan rambut Ali yang penuh keringat. Oh adikku, sabarlah dengan ujian Allah ini.
Sebenarnya Ali bukanlah sanak familiku. Ali adalah adik kelasku yang mengikuti langkahku untuk meneruskan studi di bumi kinanah ini. Sejak dari Aliah kami memang sudah akrab. Sekarang, ia sudah seperti adikku sendiri. Begitu juga dengan Ali. Dari kecilnya dia sudah yatim piatu. Menjelang ia menamatkan aliahnya, ia kembali dihadapkan pada kenyataan pahit. Nenek yang dari kecil merawatnya sepeninggal orang tuanya-pun dipanggil Allah Ta’ala. Waktu itu, dengan isak tangis ia memelukku“ Bang… aku tidak punya siapa – siapa lagi selain antum bang “ bisiknya. Akhirnya kubawalah dia kesini. Ke bumi Mesir ini.
Namun ujian Allah bertubi – tubi datang padanya. Sudah seminggu ini ia kerasukan jin. Ia seperti orang gila. Badannya yang sudah kurus jadi semakin kurus. Kami mengobatinya dengan ruqyah syar’iyyah. Walau terapi ini butuh waktu lama, aku tetap optimis sampai hari ini. Wallahi, Aku tidak rela adikku dijamah oleh dukun.
“ Bang … Bangaimana bang ?“ Husni membuyarkan lamunan ku. “ Oh, afwan dik. Bagaimana kalau besok abang ke Kairo. Kalau Bang Zulfa ada waktu, kita bawa dia kesini. Biar Ali diruqiah lagi oleh beliau lagi, gimana ?”
“ Kalau masalah ruqyah memang Bang Zulfa ahlinya, bang. Tapi apa tidak kejauhan bang ? gimana kalau yang di Tafahna ini aja. Bang Abdullah gimana? lagian ana tahu persis abang kan sekarang lagi muflisy ”
“ Justru itu dik, abang rencananya mau minjam – minjam juga sama kawan – kawan di Kairo “ jelasku.
Terdengar lantunan ayat Alquran dari corong – corong menara masjid. “ Ayo Husni, bentar lagi mau subuh “.
***
Kubuka jendela kamarku. Sejenak kunikmati sinar matahari pagi. Kuhirup udara dingin bercampur embun.
“ Bang, sarapan yuk “ terlihat husni tengah menghidangkan ful kompilasi-nya. Beberapa lembar isy masih menggepulkan asap menandakan ia masih hangat.
Kututup kembali jendelaku dan langsung menuju kamar Ali. kulihat Ali duduk mematung menghadap ke jendela. “ Ali, yuk sarapan dulu dik…” kubimbing Ali keruang makan.
Kusuapkan satu potong isy bercampur ful. “ Yuk dik, buka mulutnya. Ini enak lho…”
Ali membuka mulutnya kemudian melahap suapanku pelan.
Sudah dua Minggu Ali seperti ini. Tidak pernah bicara. Lebih suka menyendiri. Kalau ditanya jawabnya hanya mengangguk atau menggeleng. Hatiku meringis.
Kupotongkan satu isy lagi. “ Ali, buka mulutnya lagi dik…”
Kali ini Ali bungkam. Ia menatapku. Husni segera menjauhkan makanan kalau – kalau Ali kambuh lagi.
"Bang, ana kepengen makan rendang “ ujar Ali datar.
Aku dan Husni saling menatap. Ini kali pertama Ali mengajak bicara setelah seminggu ini. “ Mau makan apa dik ?” tanyaku tak percaya.
“ Abang ngak bosan makan isy terus ? kita buat rendang yuk bang “ sambung Ali.
Aku dan Husni saling menatap kemudian tertawa lega. Bukan main senangnya hati kami“.
“ Dik, Alhamdulillah kamu sudah sembuh. Abang jadi lega. Oke, nanti abang belikan rendang “ ujarku bersemangat sambil menurut – urut bahunya. Ali menyambutnya dengan senyum. Oh Ali indah sekali senyummu.
Tiba – tiba pintu di ketuk keras. “ Andunisi iftahil bab !”
Segera kubukaan pintu. “ Oh, Baba tafaddhal …” ternyata tuan rumah kami. Tampaknya Baba kali ini kurang bersahabat.
“ Fi eh ya ‘am? Fi eh… ! billel fi eh ?” baba membentakku.
“ Ma’lesy ya Baba, kan ‘Ali maridh Kaman “ ujarku.
Beberapa hari yang lalu aku sudah memahamkan Baba kalau Ali kerasukan jin. Tapi baba sulit menerimanya. Ia dan keluarga sangat terganggu. Terutama dengan kebisingan malam tadi. Terlebih ia tinggal tepat dibawah syaqah kami.
“ Muhammad ! ana misy ‘aizin tani kida” Baba kembali membentakku. Kuanggukkan kepalaku “ masyi “.
“ Wa ugroh bet fen ?” Tanya Baba selanjutnya dengan suara tak kalah kerasnya. “ Ma’lesy ya Baba, dil wakti mafisy ‘andina fulus, ba’da bukra agiblak insya Allah “
” Kullu yaum ma’lesy !” Baba berlalu sambil mengulang kata – katanya.
Kulihat Ali sangat ketakutan. Duduk sambil memeluk lututnya. Kembali kutenangkan Ali seraya menggosok – gosok punggungnya. “ tenanglah dik “. Ia rebahkan kepalanya kebahuku.
“ Husni abang pergi sekarang ya. Kasihan Baba besok sudah masuk bulan baru sementara bulan ini kita belum bayar sewa rumah ” ujarku sambil memasang jaket dan kubelitkan syal di leherku.
” Oh ya, Husni, abang pinjam uang antum lima pound dulu ya “.
Husni tersenyum tipis sambil merongoh sakunya. Kulirik Ali.” Bang Mat, jangan lupa beli rendang nya ya …” ujar Ali penuh harap.
“ Insya Allah, dik “ balasku kemudian kuucapkan salam dan melangkah membelah dingin.
***
“ Allahu Akbar… Allahu Akbar… “ bersahut sahutan terdengar suara azan dari menara ke menara. Kubelokkan langkah menuju Masjid Faruq di pertigaan Mutsallast. Alhamdulillah dikantongku sekarang ada seratus empat puluh pound. Sejumlah uang yang kudapat dari delapan orang peminjam. Juga usaha kerasku selama dua hari. Kusisihkan seratus dua puluh untuk biaya sewa rumah. Kumudian sepuluh pound untuk membeli rendang buat Ali. Sepuluh Pound lagi buat ongkos ku dan Bang Zulfa ke Tafahna. Selesai berwudlu kuperhatikan jama’ah masjid satu persatu. Alhamdulillah, kuliahat Bang Zulfa sedang shalat sunat.
Sehabis shalat dengan zikir sekadarnya, segera kusapa Bang Zulfa. Kemudian kuutarakan maksutku hendak mengjak beliau ke rumahku untuk mengobati Ali. Alhamdulillah Beliau setuju.
“ Kita berangkat Habis Isya aja yang bang, naik Qitor malam “ ajakku.
“ Duh, apa nanti kita ngak beku. Sekarangkan puncak musim dingin, Mat ?” balas Bang Zulfa.
“ Soalnya kalau naik mobil takut ada pemeriksaan. Iqomah abang kan udah habis …” balasku mencari – cari alasan. Padahal tujuanku sebenarnya karena biaya naik kereta api kebih murah dibanding naik mobil.
Bang Zulfa tersenyum. Seolah beliau faham isi hatiku.” Baiklah. Habis Shalat Isya disini, kita berangkat ‘ala tul ya ”
Kuanggukkan kepalaku. Kemudian kusungkurkan kepalaku sujud syukur. Ya Allah, Lakalhamdu wa lakasy Syukru. Terima kasih Ya Allah telah Engkau sampaikan maksutku.
***
Kutapaki langkah di kawasan Suk Sayarot. Alhamdulillah sebungkus rendang untuk Ali ada ditanganku. Rendang special buatan Rumah Makan Singgalang di Bawabah Tsalisah. Terbayang olehku wajah Ali yang sedang menikmati rendang pembelianku. Semoga ini bisa membantu kesembuhannya.
Sebentar lagi Azan Isya. Aku harus cepat – cepat ke Masjid Faruq di Mutsallast. Aku tidak ingin Bang Zulfa yang menungguku.
“ Walak ! ta’al inta !” tiga orang Mesir menghadangku. Duh bagaimana ini ? Kupercepat langkahku.
Tiba – tiba dua orang Mesir menodongkan pisau dari belakang. Ya Allah aku diserang oleh lima orang. Mereka melipat tananku ke belakang. Salah satunya mengorok sakuku. Kucoba untuk berontak tapi sebuah pisau terselip di leherku.
“ Mereka tersenyum melihat uang seratus tigapuluh pound berhasil diambil dari dompetku.
Kucoba untuk membujuk dan memelas agar mereka tidak mengambil semua uangku. Masing masing mereka kutatap dengan tatapan memelas. Tapi malah satu pukulan keras mendarat diwajah ku. “ Uskut inta… !”
“ Eh da ?” seorang Mesir mengambil bungkusan rendangku. Lalu menumpahkannya ketanah dan menginjaknya. Spontan saja, emosiku langsung meledak. Kuayunkan tinju sekuat – kuatnya kemuka orang Mesir itu. Sampai ia tersungkur. Terus kupukuli sampai satu tusukan belati menembus dadaku. Aku terkapar. Mereka menusukku dari belakang.
Lima orang Mesir itu langsung kabur. Ya Allah, sakitnya. Aku terus berusaha untuk bernafas walau tersendak – sendak. Kulihat darahku menggenang dan bercampur dengan ceceran rendang yang baru kubeli.
Kutengadahkan kepala kelangit. Dari kepulan awan – awan seakan - akan kulihat wajah Ali. “ Ali, maafkan abang tidak bisa memberikan permintaanmu. Terlalu banyak orang yang engkau sanyangi meninggalkanmu “.
Dari kejauhan kudengar suara iqamat. Ya Allah jangan Engkau matikan aku sebelum kutunaikan kewajiban Isya ku. Kulakukan shalat Isya sebisanya. Allahu Akbar !
Tafahna, 7 Februari 2008
Sebungkus Rendang Kasih Sayang
Thursday, 19 November 2009
Labels: Sastra