Ibrahim Fuad Abbas
Millyuner Yahudi di Inggris Musa Mentivuori pada tahun 1855 berhasil membeli sebidang tanah dari Sublime Porte di Al-Quds yang terletak di luar tembok kota. Wilayah ini kemudian dikenal dengan nama kompleks Mentivuori yang merupakan cikal bakal dari wilayah permukiman Yahudi di Al-Quds.
Berdasarkan catatan mahkamah legalisasi Al-Quds dan peta Ir. Nimsawi Check yang ikut dalam organisasi wilayah permukiman dan koloni Yahudi terungkap, permukiman Yahudi yang terletak di sebelah barat kota hanya mencakup 36 pemukim bahkan hingga tahun 1918 masih tetap segitu. Daerah itu dikenal sebagai satu-satunya Koloni Baniah.
Paska terjadinya perjanjian Balfor pada 2 Nopember 1917 hingga tahun 1920 an, pertumbuhan koloni yahudi meningkat dan tuntutan untuk memiliki tembok bagian barat Al-Aqsha yang dikenal dengan tembok ratapan makin mendesak. Padahal daerah tersebut merupakan waqaf kaum muslimin yang dibuktikan dengan saksi dan dokumen, sesuai dengan pengakuan komisi penyelidikan internasional.
Akibatnya, jumlah pemukimn Yahudi di Al-Quds pada akhir tahun 1947 meningkat menjadi 99400 orang atau 60 % dari seluruh penduduk Al-Quds yang berjumlah 164500 jiwa ketika itu. Berarti jumlah warga Arab saat itu hanya 65100 jiwa saja.
Kemudian setelah perang tahun 1948 berakibat pada meluasnya wilayah jajahan Israel yang mencapai 85 % dari keseluruhan wilayah Al-Quds. Sejak saat itu, wilayah yang dijajah Yahudi dikenal dengan nama Al-Quds Barat. Mereka melakukan yahudisasi besar-besaran di semua wilayah Arab yang ditinggalkan pemiliknya atau dirampas dari mereka.
Rencana Yahudisasi Setelah Perang Juni 1967
Baru dua hari Israel menjajah Al-Quds pada Juni 1967, mereka telah berencana untuk menghancurkan areal Maghariba yang terletak di sebelah barat Al-Aqsha. David Ben Gorion (perdana menteri Israel pertama) memaklumatkan tentang rencana yahudisasi dan pembangunan kuil Yahudi. Ia mengatakan, “Israel tidak berarti apa-apa tanpa Jerusalem dan tidak ada artinya Jerusalem tanpa Kuil”.
Pada 30 Juli 1967, setelah perang bulan Juni Israel menyatukan dua bagian kota Al-Quds dibawah pemerintahan yahudi dan mendeklarasikannya sebagai ibu kota abadi bagi Entitas Yahudi.
Di tengah rencana Yahudi untuk mengembangkan 11 permukiman baru di sekitar Kota Lama, Al-Quds yang saat itu dihuni sekitar 190.000 warga Yahudi, mereka juga memperluas wilayah permukiman lain di sekitarnya dengan menggabungkan 17 wilayah permukiman untuk memutus wilayah Arab dan mengisolasinya dari Tepi Barat. Tindakan ini sebagai upaya memutus jalan damai yang mungkin akan dicapai dengan mengembalikan Al-Quds kepada bangsa Arab Palestina.
Rencana tersebut mendapat persetujuan dari Dewan Knesset Israel tertanggal 30 Juli 1980. Sejak tanggal itu, maka dimulailah perlindungan terhadap wilayah permukiman. Dan dengan berbagai cara, pemerintah Israel berhasil mengusir sebagian besar warga Arab Al-Quds dari tanah miliknya. Hingga saat ini mereka juga berhasil mendirikan 20 kompleks permukiman baru yang mengelilingi kota Al-Quds dari semua arah. Mereka berupaya untuk memutus peta demografi Al-Quds dari wilayah Tepi Barat. Saat ini sekitar 190 ribu pemukim Yahudi di Al-Quds.
Harian Al-Ahram di Kairo pada terbitan 1/11/1997 menyebutkan, Ir. Samuel Tmrok mengungkapkan, pemerintah Israel berencana memperluas permukiman Maale Adumem agar menjadi permukiman terbesar yang membentang dari Tel Aviv hingga Al-Quds, bahkan mendekati wilayah perbatasan Yordania.
Sementara itu, Ketua Department Cartography di Lembaga Kajian Arab Al-Quds, Prof. Kholil Tafkaji menyebutkan, Israel sangat kreatif dalam membuat berbagai cara untuk menggusur wilayah Al-Quds dengan tema “Rencana Haikal” yang akan memindahkan sebagian besar wilayah Palestina yang terletak di perbatasan, termasuk distrik Al-Quds ke wilayah hijau dimana dilarang bagi warga membangun wilayah tersebut, karena termasuk wilayah setrategis bagi permukiman Zionis di masa yang akan datang. Sebagaimana terjadi pada permukiman Javaat Hashivatz dan Jabal Abu Ganem serta lainya.
Dengan cara seperti ini, Israel berhasil merubah 40 % wilayah Al-Quds timur sebagai zona hijau bagi Palestina.
Rencana yahudisasi Al-Quds sudah dimulai sejak era perdana menteri Ehud Olmert yang telah mempersiapkan peta Al-Quds tahun 2020, yaitu sejak ia menjabat sebagai kepala distrik Al-Quds. Peta itu telah ia publikasikan sejak tahun 2004 dan dikenal dengan “Al-Quds 2020”. Target dari peta ini adalah mengisolasi kota Al-Quds serta menekan pertumbuhan warga Arab hingga jumlahnya tak lebih dari 12 %, melalui penerapan mayoritas Yahudi di kota tersebut. Merekapun akan memindahkan seluruh kantor pemerintahannya ke Al-Quds, untuk menandaskan bahwa Al-Quds adalah ibukota abadi bagi Israel.
Perlu disebutkan, perdana menteri Israel Benyamin Netanyahu yang menerima tampuk pemerintahan pada April 2009 telah bekerja semaksimal mungkin demi meyahudikan Al-Quds dan mengosongkanya dari warga Arab. Harian Zionis, Haaretz mengisyaratkan, tat kala Netanyahu menerima tampuk kekuasaan, maka koalisi pemerintah baru Israel akan berusaha semaksimal mungkin menguasai Al-Quds melalui perluasan permukiman Yahudi yang mencakum pembangunan ribuan unit rumah baru disekitarnya.
Sementara harian “Konstitusi” pada terbitan 2/4/2009 menyebut “Republik Ad” lah yang bertugas membeli sejumlah tanah Palestina melalui sejumlah kontrak palsu disamping penghancuran terhadap rumah-rumah serta penggalian di sekitar Kota Lama dan pengambil alihan sejumlah rumah Palestina yang berada di sekitar Silwan, Thur dan Syaikh Jarrah untuk dijadikan Danau Suci, dengan niat menciptakan realitas yang tidak mungkin dikembalikanya kondisi Al-Quds di sekitar Kota Lama.
Sepanjang beberapa tahun kemarin, Israel melakukan perluasan distrik Al-Quds secara bertahap dengan digabungkanya wilayah lain di Tepi Barat. Secara langsung mereka melakukan yahudisasi secara luas, terporgram dan sistematis disamping merealisasikan proyek Al-Quds Raya seluas 840 Km persegi atau sekitar 15 % dari luas Tepi Barat.
Sementara itu, Chris Makjrel dalam makalahnya yang diterbitkan harian Guardian tanggal 27/11/2005 menyebutkan, dokumen rahasia milik departemen luar negeri Inggris menuding Israel mempercepat rencananya untuk menggabungkan wilayah Arab di Al-Quds dengan cara membangun sejumlah permukiman Yahudi illegal serta pembuatan pagar raksasa Tepi Barat. Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi agar wilayah ini tidak menjadi bagian dari negara Palestina. Di sisi lain, rencana Sharon adalah penggabungan permukiman Maale Adumem di Tepi Barat melalui pembangunan ribuan rumah baru Israel. Langkah ini akan mengurung kota Al-Quds dengan permukiman Yahudi. Dengan demikian Al-Quds akan terbelah menjadi dua bagian yang secara geografis terpisah.
Di pihak lain, laporan rahasia Uni Eropa sebagaimana dilansir harian Guardian Inggris pada 7/3/2009 menyebutkan, pemerintah Israel menggunakan perluasan permukiman dan menghancurkan rumah berikut kebijakan diskriminatif terhadap penduduk di Tepi Barat, sebagai sarana untuk menggabung dua wilayah secara illegal. Sementara kebijakan Israel di Al-Quds, meliputi pembangunan permukiman baru, tembok rasial, kebijakan diskriminatif, peraturan ketat pembangunan rumah serta berlanjutnya penyegelan lembaga-lembaga Palestina bertujuan untuk meningkatkan eksistensi Yahudi di Al-Quds Timur dan melemahkan warga sipil Al-Quds serta menghambat pertumbuhan peradaban Palestina serta mengisolasinya dari Tepi Barat.
Laporan Uni Eropa menyebutkan, aksi penghancuran rumah bukan hanya menyangkut undang-undang yang melarang tindakan tersebut. Tetapi dengan terang-terangan mereka melanggar semua kesepakatan internasional, disamping tidak mempunyai tujuan yang jelas. Dan tentu hal tersebut berpengaruh serius yang akan melahirkan tindakan pahit dan radikalisme di kawasan. (asy)
Prakiraan Yahudisasi Al-Quds 2020
Thursday, 19 November 2009
Labels: Analisa